Jumat, 22 Agustus 2014

Santap Brongkos di Waroeng Soekonandi Yogya

Warungnya baru berdiri sekitar 3 tahun yang lalu di Jalan Sukonandi, sebelumnya berada di sekitar Kridosono, Kotabaru, Yogya. Pada papan nama warung itu terrtulis ‘Warung makan dan Es teller’. Pada kartu nama pemiliknya, Prasetyo, ditulis ‘Spesial Brongkos Soekonandi’.

Adalah Hariadi Saptono, Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta yang memberikan pesan, bahwa di Jalan Sukonandi 1, Yogyakarta, ada warung enak, namanya warung es teler.

“Mas, kita bertemu di warung es teler Jalan Sukonandi, dari Radio Geronimo ke timur ada pertigaan belok ke selatan, dan di sebelah barat jalan letak warung itu,” Hariadi memberi pesan secara rinci.

Maka, Sabtu siang tanggal 13 Juli 2013 kuliner Tembi menuju ke warung yang telah disebutkan. Lokasi warungnya memang persis berada di tepi jalan. Pepohonan rindang yang menaungi tempat makan warung itu, sehingga udara sejuk merayapi tubuh.

“Silahkan pesan apa?” Hariadi menawari.

Seorang pelayan warung menyodorkan list menu. Ada banyak pilihan menu, ada kwe tiaw, nasi goreng petai dan lainnya. Yang menarik, ada brongkos. Pilihannya brongkos tahu, brongkos telor, brongkos daging dan brongkos komplit.

“Brongkos komplitnya enak,” kata Prasetyo pemiliknya.

Menu brongkos
Akhirnya, kuliner Tembi memilih menu brongkos komplit, yang terdiri dari tahu, telor daging dan koyor. Warna kuahnya coklat khas brongkos, kacang tholonya ada di dalam kuah. Hanya saja, kulit melinjonya tidak disertakan. Rasanya memang enak, sungguh Prasetyo tidak berbohong.

Dagingnya sudah ikut berubah warna coklat seperti kuahnya, sangat empuk, sehingga tidak susah dikunyah. Bahkan, dagingnya dipotong (dicuil) dengan sendok pun bisa. Rasanya brongkos di jalan Sukonandi paling enak, dibandingkan brongkos di warung-warung lainnya.

Brongkos Prasetyo ini tidak terlalu pedas, dan rasa manis serta gurih seperti tak berhenti bergelut di lidah.

Selain brongkosnya enak, suasana warungnya, yang di bawah rindang pepohonan, memberikan rasa nyaman duduk berlama di tempat makan. Angin yang meniup dedaunan membuat tubuh terasa semilir.

Ornamen yang menghiasi bangunan warung, menempel di pohon berasal dari barang-barang bekas, seperti bekas tutup minuman, sehingga sekujur tubuh pohon penuh warna.

Atap menyerupai payung, yang dipakai untuk memberi keteduhan di ruang makan outdoor, menggunakan antena parabola yang sudah tidak terpakai ditutup dengan kain atau plastik dan diberi warna. Pada tubuh pohon digantungi kayu tipis berbentuk bulat dan ditulis jenis menu yang tersedia, ‘mendoan', misalnya.

Tempat makan di antara pepohonan
Selain itu pada dinding di luar ruang makan, yang dipakai untuk parkiran sepeda motor, diberi tempelan, yang ditulisi nama-nama menu yang tersedia. Posisi tempelannya menyebar dan dalam bentuk bulat seperti cobek dan dicat warna-warni, sehingga dari tempat duduk yang agak jauh, orang bisa memesan menu.

Yang lebih unik, pemilik warung, Prasetyo, sangat ramah dan selalu menyapa orang yang hadir di warungnya. Ia sekaligus suka ‘meramal’ tamu-tamunya dengan misalnya, melihat tangannya, dan kemudian memberi saran kepada tamunya. Seperti dialami Bambang Kusuma, pengajar jurusan Sosiologi Atmajaya, diminta untuk memanjangkan kuku di jari kelingkingnya sepanjang 1 cm.

Oranamen menempel di pohon
Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya


Kamis, 07 Agustus 2014

Sungguh Pas Di Perut Menyantap Bubur Gudeg Di Pagi Hari

Sepiring bubur gudeg lengkap dan segelas teh panas, pas untuk mengisi perut di pagi hari
Masyarakat Yogyakarta masa lalu mempunyai korelasi yang kuat dengan kebiasaan atau kultur makan (sarapan pagi) dengan bubur gudeg. Kultur sarapan bubur gudeg ini sekarang mulai pudar mengingat ada begitu banyak tawaran cara sarapan dengan kuliner lain yang beragam.

Di tengah maraknya dunia kuliner di Yogya ternyata penjual bubur gudeg masih dapat ditemukan di banyak tempat. Salah satu pos bubur gudeg dapat ditemukan di Jl Parangtritis, khususnya di sisi selatan Pasar Prawirotaman hingga sekitar bekas Kampus STIE atau Kampung Salakan di sisi utara perempatan ringroad Druwo. Di ruas jalan ini setidaknya dapat ditemukan enam penjual bubur gudeg.

Bubur gudeg identik dengan gudeg basah, bukan gudeg kering seperti yang terdapat di Wijilan atau di kawasan Barek. Bubur gudeg juga identik dengan pagi hari karena bisa dikatakan bubur gudeg hampir tidak pernah dijajakan pada siang atau malam hari.

Suatu hari Tembi berkesempatan mencoba kuliner bubur gudeg di warung gudeg Bu Rus yang memiliki nama lengkap Rusmini (56). Tembi memesan bubur gudeg lengkap dengan lauk tahu, krecek, dan sebutir telur. Saat Tembi cermati, ada tambahan kuliner lain selain gudeg dan asesori itu, yakni daun papaya. Untuk bubur gudeg dengan kelengkapan seperti itu Tembi cukup membayar Rp 8.000, dan segelas teh panas Rp 1.000.

Sensasi makan bubur gudeg tidaklah sama dengan bubur ayam. Bubur gudeg bisa juga berasa pedas jika diberi lauk sambel goreng krecek. Rasa gurih bubur gudeg ditimbulkan oleh santan yang menjadi cairan utama dalam mengolah bubur. Beda dengan bubur ayam yang minim santan sehingga terasa lebih hambar.

Bu Rus bersama suaminya, Sukoco, siap melayani konsumen
Rasa gurih bubur gudeg ini akan semakin lengkap dengan kucuran kuah opor yang disebut areh oleh orang Jawa. Kuah sambel goreng krecek yang pedas akan menohok tenggorok dengan sensasi nyos yang membuat syaraf seperti terbangunkan di pagi hari. Mungkin karena itulah bubur gudeg sangat cocok untuk kuliner sarapan pagi.

Gudeg yang kuat pada rasa manis (sedikit samar rasa asinnya) menjadi hentakan rasa lain pada dominasi rasa gurih bubur dan areh. Daun papaya yang tidak pahit memberikan sentuhan kesegaran yang dapat menjadi penawar dari rasa eneg karena dominasi areh yang gurih.

Bagi Tembi areh yang disantap di warung Bu Rus terasa kurang kental dan rasanya masih kurang mengigit. Tekstur gudegnya juga terasa masih kurang “mlonyoh”. Namun semua itu mungkin juga berkait dengan selera masing-masing.

Telur yang dimasak opor semalaman menjadikan telur tersebut relatif keras dan tidak “mblenyek” ketika dipecahkan di piring. Telur yang demikian ini dikenal dengan istilah “gempi”. Krecek atau krupuk kulit yang “kiyel-kiyel” melengkapi sensasi bersantap pagi. Bubur memiliki efek adem di perut, tidak “mrongkol” seperti halnya nasi. Jadi memang pas untuk suasana pagi ketika usus belum lagi menggeliat dengan kekuatan penuh.

Bubur gudeg bisa dikatakan hanya bisa dinikmati pagi hingga menjelang siang hari. Bubur ini akan lebih nikmat disantap ketika masih panas karena memberikan efek “kemepyar”.

Warung Bu Rus biasanya buka pukul 05.30-10.00 WIB. Jadi bagi yang ingin menikmati bubur gudeg harap datang tidak lebih dari jam itu. Selepas itu Anda akan kesulitan menemukan sensasi bubur gudeg. Warung gudeg Bu Rus tutup total di bulan Ramadan dan hari Lebaran. Bu Rus yang asli warga Salakan, Bangunharjo, Sewon, Bantul, dalam berjualan selalu didampingi suaminya, Sukoco. Bu Rus mulai merintis jualan gudeg sejak 1997.

Warung gudeg Bu Rus dilihat dari Jl. Parangtritis
Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Senin, 04 Agustus 2014

Resep Sambel Goreng Taoco dalam Majalah Kajawen 1936

Majalah Kajawen terbitan 1936 yang memuat resep sambel goreng taoco

Satu lagi kuliner tradisional Jawa yang dimuat dalam Majalah Kajawen yang beraksara dan berbahasa Jawa terbitan tahun 1936, yaitu “Sambel Goreng Taoco”. Resep ini dihadirkan oleh seorang wanita Jawa bernama Raden Nganten (R Ngt) Pujirah.
Ia berbagi resep ini untuk para pembaca Majalah Kajawen, yang kala itu hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan dan pedagang kelas menengah dan atas saja. Maka tidak heran, bahwa masakan ini, pada zaman dulu hanya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan saja. Namun saat ini tentunya siapa saja boleh mengonsumsi dan merasakannya.
Dengan bahasa dan aksara Jawa, resep kuliner ini disajikan dengan bahasa yang lugas, seperti pada resep sebelumnya, yakni “Terik Garing Daging Lembu”. Pada resep kedua ini, Pujirah menyampaikan bahwa bahan-bahan untuk membuat kuliner “Sambel Goreng Taoco” adalah sebagai berikut: hati (sapi, bisa juga lainnya seperti hati ayam) yang berkualitas bagus yang diiris-iris kecil. Hati sebagai bahan utama. Sayangnya tidak disebutkan beratnya. Jadi, bisa dikira-kira sendiri sesuai dengan porsi yang diinginkan.
Lalu bumbunya adalah: bawang merah, bawang putih (dalam teks disebut dalam bahasa Jawa, brambang bawang), lengkuas, serai, asam, gula Jawa, terasi, cabe merah, cabai hijau dan garam secukupnya. Proporsi semua bumbu tersebut secukupnya. Bumbu lain berupa taoco juga secukupnya.
Cara memasaknya sebagai berikut: Bawang putih dan merah diiris tipis-tipis, cabai dibuang isinya lalu diiris tipis-tipis juga. Sere dan lengkuas juga diiris. Semua bumbu tersebut digongso dengan minyak goreng sedikit di atas wajan. Tidak lupa ditambahkan bumbu lain, seperti gula Jawa dan garam secukupnya. Jika bumbu yang digongso telah matang, irisan hati dimasukkan bersama dengan taoco, diaduk hingga rata, kemudian santan dimasukkan secukupnya. Setelah itu masakan ditutup sebentar hingga masak.
Resep sambel goreng taoco dalam tulisan Jawa
Demikian resep dan cara memasak kuliner tradisional berupa “Sambel Goreng Taoco” ala Majalah Kajawen tahun 1936.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya